BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 22 Mei 2010

PERUBAHAN DARI INTEROGASI KE WAWANCARA INVESTIGASI

Kajian Psikologi Forensik

Istilah interogasi berubah dalam bahasa Inggris menjadi wawancara investigai (Milne & Bull, 2003), yang mana telah ditekankan dan dinaikkan pentingnya mengubah sikap terhadap interview polisi. Untuk lebih memahami hubungan sejarah antara teknik mengumpulkan informasi polisi, masyarakat dan penelitian, review singkat dari evolusi interogasi menjadi wawancara investigasi akan disediakan.

Dari jaman dahulu pada awal paruh abad ke-20, beberapa interrogator telah menggunakan tindakan kekejaman untuk mencari fakta kriminal. Tersangka telah mencoba untuk menyembunyikan pengetahuannya dengan diam atau berbohong, dan menurut sejarah, pemilihan metode untuk mendapatkan pengakuan telah menggunakan tekanan fisik dan mental. Münsterberg (1908/1923) menggambarkan interogasi meliputi menggunakan cahaya yang menyilaukan, menyiram dengan air dingin dan pukulan rahasia yang meninggalkan sedikit tanda dan ini tetap digunakan secara teratur oleh polisi dalam beberapa negara pada awal dekade abad ke-20. Opini masyarakat telah dengan kuat melawan metode-metode ini, masyarakat tidak yakin bahwa interogasi efektif dalam mendapatkan kenyataan yang sebenarnya dari tersangka. Hingga awal 1930-an dan mungkin lebih lama, taktik interview polisi pada beberapa Negara secara umum dikarakteristikan dengan kekerasan (Leo, 1992).

Di Swedan, Hassler (1930) menyatakan bahwa interview polisi sebaiknya bersifat menyelidik, ditandai dengan pertanyaan yang koersif. Tersangka sebaiknya, dalam ketiadaan sakit, ancaman atau penipuan yang ditimbulkan, terbujuk untuk menyediakan pengakuan sukarela. Peixoto (1934), dari sudut pandang Brazil berpendapat bahwa “tiga tingkat” itu adalah paksaan dan nilainya meragukan. Pada tahun 1930an dan 1940an, penggunaan metode wawancara paksaan mulai menurun (Leo, 1992). Polisi Swedia direkomendasikan untuk mencoba kepercayaan interviewee dan kemudian membiarkan interviewee bercerita dengan bebas sebelum polisi mulai bertanya dengan pertanyaan terbuka. Leche dan Hagelberg juga menegaskan kebutuhan polisi untuk mengerti reaksi dan emosi orang, harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana fungsi memori manusia, dan mengerti bagaiamana pernyataan dapat diakibatkan oleh taktik yang berbeda yang diadopsi oleh interviewer.

Untuk mengamankan kepercayaan dan menilai kejujuran saksi, Gebert (1954) menekankan kebutuhan untuk memahami kepribadian interviewee. Gebert menyatakan bahwa beberapa interviewee tegang, mereka terlihat merasa bersalah, itu adalah reaksi sebenarnya pada interviewee dan mereka akan menjadi santai hanya ketika mereka yakin bahwa wawancara akan menjadi tingkah laku yang wajar dan dengan cara yang netral. Tahun 1960an polisi mempunyai teknik memperdaya, taktik dan tipu daya yang menjadi kebiasaan dalam mewawancarai tersangka. Seorang psikolog Shepherd melatih polisi dengan mengembangkan sebuah scenario untuk mengatur percakapan dengan setiap orang yang polisi temui. Dalam pelatihan ini, Shepherd menciptakan sebuah terminology Conversation Management (CM). pada teknik ini,yang mana polisi harus sadar dan mengatur interaksi komunikasinya baik verbal maupun non verbal. Managemen percakapan terdiri dari tiga fase: sebelum, saat, dan setelah perilaku wawancara dilakukan.

Dalam fase sebelum wawancara, polisi harus bekerja secara objektif tanpa bias. Kemudian menganalisis secara detail dan mengembangkan pertanyaan untuk dijawab, lalu melakukan persiapan dan wawancara. Sebuah metode yang dikenal dengan SE3R bertujuan untuk membantu investigator secara cepat untuk merekam, menganalisis, mengumpulkan, memproses, dan mendaftar semua informasi dari interviewee dan menuliskan kedalam pernyataan. Lima langkah itu adalah Skim, Extract, Read, Review, dan Recall. Dalam fase saat interview, interviewer didorong untuk memperhatikan empat sub fase: sambutan, penjeasan, aktivitas bersama, dan penutupan. Dalam sub fase sambutan berfokus pada perkenalan yang tepat pada interviewer, yang disebut dengan membangun rapport. Dalam sub fase penjelasan, interviewer harus menetapkan tujuan dan objektif, kemudian mengembangkan interview lebih lanjut. Aktivitas bersama difokuskan dengan memperoleh cerita dari interviewee dan mengklarifikasi pertanyaan dari interviewer. Penutupan adalah fase yang penting dimana interviewer mencoba untuk menciptakan akhir yang positif dari interview, tujuannya agar sama-sama puas dengan isi dan performa dari sesi itu. CM consistent dengan Police dan Criminal Evidence Act (PACE). Adanya PACE membuat kritik tentang metode introgasi yang telah ada dan mendorong penelitian teknik wawancara bagi polisi agar dihasilkan teknik yang lebih efektif.
Untuk menciptakan interaksi komunikasi antara polisi yang mewawancarai dan tersangka, (1991) menegaskan pentingnya interviewer menunjukkan perasaan kemanusiaan pada tersangka, dan menganjurkan Ethical Interviewing (EI) Shephred berpendapat bahwa pendekatan EI member kemampuan untuk dirinya menjadi investigasi profesional. Itu juga meningkatkan kualitas investigasi untuk sukses ynag lebih besar dalam pencegahan kriminal, mendeteksi, dan menghukum pelaku yang bersalah. Pendekatan ini meletakkan pada prinsip etis, berarti bahwa individu menunjukkan saling menghormati dan memperlakukan satu dengan yang lainnya sederajat manusia dengan hak untuk martabat, penentuan diri dan kebebasan bersuara. Hal ini juga menegaskan empati, yang berarti memperlakukan setiap orang dengan tingkat saling mengerti. Akan tetapi para ahli investigator yang menginterview rata-rata menunjukkan lebih sedikit empati dibandingkan dengan pentingnya skill interview.

Baldwin (1992, 1993) mengobservasi rekaman video dan suara dari interview polisi yang menunjukkan kebutuhan akan profesionalisme dan dia mengatakan untuk menggunakan aturan dasar dari latihan interview suara. Para polisi professional menyediakan interview yang adil dan tenang sehinga tersangka dapat mengekspresikan apa yang dimaksukannya. Sebagai tambahan polisi professional yang mewawancarai harus memperhatikan respon tersangka, taktik menghindar menggangu dan paksa. Kemudian, interviewer membuka pikirannya untuk memberikan waktu pada tersangka untuk merefleksikan dan memberi kesempatan untuk mengekspresikan posisi tersangka. Interviewer professional membangun rapport dan mendengar secara aktif respon tersangka. Akan tetapi banyak polisi yang kesulitan untuk membangun rapport dengan tersangka, mengadopsi pendekatan pencarian-pengakuan, dan mendesak tersangka untuk menerima ketetapan sebelumnya dari kejadian kejahatannya, misalnya dengan memaksa tersangka untuk mengakui kalau dialah yang melakukan kejahatan itu. Sebuah problematic ketika polisi menggunakan pendekatan confrontasi dan pencarian-pengakuan. Sejumlah besar interview menemukan dimana bukti-bukti berlawanan dengan terdakwa yang diterima dengan kuat, polisi yang melakuakn wawancara selalu berasumsi mereka bersalah dan mengadopsi pendekatan pencarian-pengakuan. Tetapi ketika bukti-bukti lemah melakuakn pengumpulan informasi. Dan pendekatan terakhir meningkatkan kemungkinan berisi cetita tersangka dari kejadian kejahatan.

Williamson (1993) mengidentifikasi empat tipe yang berbeda pada polisi dalam mencoba mengambil keterangan dari tersangka. Dua tipe diantaranya adalah karakteristik dengan prosedur confession-seeking dan dua lainnya adalah searches for securing evidence. Pendekatan pertama confession-oriented dikonseptualisasikan sebagai collusive, menyatakan secara tidak langsung bahwa tindakan interviewer koopertaif, kebapak-bapakan, menolong, dan dengan problem solving. Pendekatan kedua tipe confession-oriented adalah orang yang dominan, dimana investigator menggunakan pendekatan confrontational dan menunjukkan ketidaksabaran serta emosinya pada tersangka. Ketiga mencakup strategi mengamankan securing evidence disebut sebagai konseling dan terdiri dari kerjasama, tidak emosional dan cara bersikpnya tidak menghakimi. Dan tipe yang keempat, disebut sebagai businesslike dan diputuskan oleh confrontational, kasar, cara bersikap yang factual dan formal, interviewer mencoba untuk mengamankan bukti-bukti. Dalam penelitian William menyatakan bahwa interviewer yang mendapatkan banyak pengakuan kebenaran menunjukkan sikap yang positif kepada tersangka, juga menunjukkan simpatik dan perilaku kooperatif. Sedangkan pada introgasi dominan yang menekan terdsangka melalui pertanyaan yang cepat, polisi akan didapatkan ketidaksimpatikan dan konfrontasi pada tersangka, yang mana respon yang dihasilkan seiring melawan dan menolak.

Ada juga konsep tentang investigative Interview yang dikemabangkan tahun 1990s, hal ini timbul karena respon dari masyarakat umum dan media tentang beberapa metode yang sudah ada. Mnemonic PEACE merupakan Planning and Prepation, Engage dan Explanation, Account, Clarification and Challenge, Closure, and Evaluastion, dimana perupakan fase yang penting dalam interview yang baik (Bull, 1999; Bull & Milne, 2004; Milne & Bull 1999, 2003).

Pertama, interviewer dibantuuntuk merencanakan dengan hati-hati dan menyiapkan diri mereka sebelum interview. Keduanya baik pengalaman polisi dan peneliti telah beulang kali menunjukkan manfaat yang baik dengan menyiapkan interview terlebih dahulu. Yang penting dari perencanaan dan persiapan fase ini adalah biaya yang efektif dan sebagian besar menjadi pokok dan kemampuan krusial yang akan menentukan hasil interview. Planning and Preparation tidak hanya mencakup membaca file kasus dan menjadi terbiasa dengan fakta, tetapi juga mendorong polisi untuk mencari pengetahuan tentang individu yang diinterview, dalam bagian itu, aspek yang mungkin melengkapi atau memfasilitasi interview, contohnya adalah sifat mudah disakiti (rentan), religious, aspek budaya, kecanduan, keadaan fisik dan lingkungan. Pada angkatan bersenjata dengan pengetahuan tentang kasus khusus dan berfokus pada individu, polisi akan memposisikan diri untuk merencanakan bagaimana untuk bertingkah laku interview dengan tersangka dalam pertanyaan. Engage and Explain adalah fase pertama dalam interview nyata, dimana interview memberitahukan pada tersangka tentang dugaan, hak-hak mereka dan prosedur dalam interview. Disini paling penting interviewer untuk membangun rapport. Meminta tersangka dan mencoba untuk memotivasi untuk menyediakan perspektif pada kunci dari kejadian. Tujuan dari perkenalan ini agar tersangka mengetahui “peta rute” untuk keadilan dan interview dapat berjalan dengan lancar. Dalam fase Account, clarification and challenge, tersangka diminta untuk menceritakan apa yang terjadi selama peristiwa itu dalam pertanyaan-pertanyaan. Interviewer kemudian meminta tersangka untuk menceritakan lagi hal-hal yang tidak konsisten yang perlu diklarifikasi dan ditolak. Pada fase Closure mencakup ringkasan tentang apa yang sudah dikatakan dan mengecek pada tersangka semua yang btelah dimengerti dengan benar. Ini juga penting untuk memberitahukan pada tersangka kemingkinan tentang langkah selanjutnya dalam investigasi memberikan catatan positif tentang interview yang telah dilakukan. Penutupan dengan positif mungkin digunakan untuk menyiapkan cara interview lebih jauh. Fase terakhir dari model PEACE adalah evaluation,membutuhkan polisi untuk mengevaluasi dalam mengugkapkan fakta dalam interviewdan menghubungkan informasi yang ada sebelumnya dan tujuan dari interview. Sebagai tambahan, hal yang penting untuk interviewer mengevaluasi bagaimana mereka berperilaku selama interview dan merefleksikan bagaimana interview dapat ditingkatkan. Tujuan dari model PEACE berisi mengoreksi bukti-bukti yang reliable untuk menemukan kebenaran dari investigasi kriminal, model ini menekankan pada prinsip etis yang berbeda dengan metode kekerasan dan paksaan.

Sebagai penghormatan pengalaman kemanusiaan, Holmberg & Christianson (2002) membuat studi pada pembunuh dan pelanggar seksual, interview polisi diterima dengan kooperatif, akomodating, positi, empati, menolong dan menarik hati. Pengalaman interview secara signifikan dihubungkan secara signifikan dengan respek tersangka. Dan dari beberapa studi menyimpulkan bahwa hasil interview polisi yang kemanusiaan dan memperhatikan prinsip etis akan mengahasilkan pengakuan sungguh-sungguh dari tersangka.

Terapeutik ilmu hulum tumbuh dan bergerak dengan filosofi hukum dalam egalitas dan area praktik hukum. Terapeutik ilmu hukum difokuskan pada permasalahan manusia dan konflik dan menganjurkan polisi, presekutor dan bagian lain dari hukum untuk mengerti konflik hasil social dan efek psikologis individu tercakup didalamnya. Ini terlihat dalam hukum dan prosedurnya sebagai agen terapeutik karena hukum dan eksekusinya dapat mengakibatkan kedua-duanya terapeutik dan anti terapeutik. Tujuan dari terapeutik ilmu hukum adalah untuk mengemabangkan prosedur hukum dan mempromosikan kesejahteraan social dan psikologis dari individu pada tindakan yang berkaitan dengan hukum. Ide ini adalah actor hukum dapat menggunakan teori dan pengetahuan empiris dari ilmu-ilmu perilaku untuk mempengaruhi praktik hukum. Dalam cara ini, ilmu hukum dapat terlihat sebagai alat untuk mempromosikan kesejahteraan psikologis dalam praktik hukum. Dalam study Holmberg & Christianson (2002) menunjukkan signifikan yang tinggi antara kesejahteraan psikologi dibandingkan dengan merasa sedikit respek, bahkan pelanggar mengakui kriminal mereka. Pengakuan bersalah seharusnya tidak hanya dari investigasi dan perspektif hukum. Pengakuan dalam konteks terapeutik ilmu hukum mungkin juga dibutuhkan pelanggar untuk bekerja menjalankan kriminal. Pengakuan boleh jadi masuk dalam memori pelanggar terhadap tindak kriminalnya dan juga menunjukkan kesejahteraan psikologis mereka yang mana dapat mencegah pelanggaran di masa mendatang.





Sumber :
Davies, Graham, Clive Hollin, Rau Bull. (Eds.). (2008). Forensic Psychology. West Sussex – England : John Wiley & Sons Ltd.

1 komentar:

arie mengatakan...

kak maaf boleh minta referensinya gak?